Sholatlah Anda, sebelum Anda disholatkan orang lain dan Hisablah diri Anda, sebelum Anda dihisap di Yaumil Hisab...

Pesan kami

Sholatlah Anda, sebelum Anda disholatkan orang lain dan Hisablah diri Anda, sebelum Anda dihisap di Yaumil Hisab...

Amrullah Ibraim, S.Kom

Jumat, 25 Februari 2011

Thoharoh

Definisi
Menurut morfologi (bahasa): Thoharoh berarti An-Nazhofah (pembersihan) atau An-Nazahah (pensucian). Secara Etimologi (istilah): membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau  mensucikan diri dari segala macam sifat/ perangai/ akhlak/ perilaku yang kotor/ tidak terpuji.
Macam-Macam Thoharoh
  1. Thoharoh Bathiniyah Ma’nawiyah (pensucian jiwa). Yaitu mensucikan diri, hati dan jiwa dari noda syirik, syak (keraguan), subhat (racun kebohongan) dan bentuk-bentuk perbuatan maksiat lainnya. Cara-caranya dengan: Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh semata, dengan memfokuskan tujuan dan sasaran ibadah hanya kepada-Nya saja. Mutaba’ah (mengikuti) Rosulullah saw dalam beramal, berperilaku, bermuamalah dan berakhlak, bahkan dalam segala hal yang kita anggap remeh sekalipun. Membersihkan diri dari pengaruh dan noda hitam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan segala bentuk penyimpangan dalam syari’at, dengan taubat nashuhah (sungguh-sungguh)
  2. Thoharoh Dzohiroh Hissiyah. Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan hadats (dari dalam). Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum. (inilah yang menjadi bahasan dalam bab ini).

Macam-macam Air
  • Air hujan atau air yang keluar dari dalam bumi maka hukumnya suci dan mensucikan berdasarkan firman Alloh Ta’ala, “Dan Kami turunkan dari awan air yang suci dan mensucikan” (Al Furqon : 48).
  • Air laut sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tentang kesucian air laut, “Airnya suci dan bangkainya halal dimakan.” (Shohih Sunan Ibnu Majah no.309. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththo’ 26/40, Abu Dawud I/152/83, At Tirmidzi I/47/69, Ibnu Majah I/136/386 dan An Nasa’i I/176).
  • Air sumur Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentang air sumur (budho’ah), “Sesungguhnya air adalah suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (Irwa’ul Gholil no.14. Diriwayatkan oleh Abu Dawud I/127,126/67,66, At Tirmidzi I/45/66 dan An Nasa’i I/174).

Air tetap dalam keadaan suci walaupun tercampuri dengan sesuatu yang suci selama masih dalam status mutlak (masih bisa disebut air). Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW kepada wanita-wanita yang hendak memandikan jenazah putri beliau (Zainab), “Mandikan dia tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian pandang perlu dengan menggunakan air dan daun bidara. Dan yang terakhir dengan kapur barus atau sedikit kapur barus” (Diriwayatkan oleh Bukhori III/125/1253 dan Muslim II/646/939).

Air tidak disebut air najis walaupun kemasukan najis kecuali jika sifatnya berubah karena najis tersebut. Berdasarkan hadits Abu Sa’id, beliau berkata, ditanyakan kepada Rosulullah : “Wahai Rosulullah, bolehkah aku berwudhu dari sumur budho’ah? Sumur ini dibuang di dalamnya kain pembalut, bangkai anjing dan barang-barang yang busuk”. Maka beliau bersabda, “Air adalah suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun” (Shohih Sunan Ibnu Majah no.309. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththo’ 26/40, Abu Dawud I/152/83, At Tirmidzi I/47/69, Ibnu Majah I/136/386 dan An Nasa’i I/176).


Najis

An Najasaat adalah bentuk jamak dari najasah, yaitu segala sesuatu yang dianggap jijik oleh orang yang memiliki tabiat baik. Mereka akan berhati-hati terhadapnya dan mencuci pakaian jika mengenainya, contohnya kotoran dan air kencing (Roudhotun Nadiyyah I/12).

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah/boleh dan suci. Barang siapa yang mengklaim bahwa suatu barang itu najis maka ia harus mendatangkan dalil. Jika ia dapat menyebutkan dalilnya maka benarlah klaim najis tersebut, namun jika ia tidak bisa atau dalilnya tidak bisa dipakai sebagai argumen, maka kita wajib untuk kembali pada hukum asalnya (As Sailul Jaror I/31). Karena hukum najis adalah hukum yang kasusnya sangat sering terjadi, maka tidak boleh menetapkan najis atau tidaknya kecuali dengan dalil (Roudhotun Nadiyyah I/115).


Benda-benda terdapat dalil kenajisannya :

  • Air kencing dan kotoran manusia. Kotoran manusia najis berdasar hadits Abu huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menginjak ‘al adza’ (kotoran, pent.) dengan sandalnya, maka sesungguhnya tanah adalah alat untuk mensucikannya”. ‘Al adza’ adalah segala sesuatu yang mengganggu, baik berupa najis, kotoran, batu, duri atau selainnya. Namun jelas dalam hadits tersebut bahwa yang dimaksud dengan ‘al adza’ adalah kotoran. Adapun air kencing dihukumi najis berdasar hadits Anas, bahwasanya ada seorang arab badui yang kencing di masjid kemudian banyak orang hendak menghentikannya. Rosululloh bersabda, “Biarkan dia, janganlah kalian hentikan kencingnya”. Anas berkata, “Ketika orang itu selesai kencing, Rosululloh meminta seember air kemudian menyiramnya.” (Muttafaq ‘alaihi, diriwayatkan oleh Muslim I/236/284 dan Bukhori X/449/6025. Lafazh hadits ini dari riwayat Muslim). 
  • Madzi dan Wadi. Madzi adalah air yang berwarna putih, encer dan lengket. Air ini keluar ketika syahwat bangkit tetapi bukan dengan syahwat (rasa nikmat saat keluar, pent.), tidak memancar dan tidak timbul rasa letih sesudah keluar dan terkadang keluarnya tidak terasa. Ini terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan (Syarah Muslim karya An Nawawi III/213). Air Madzi adalah najis, oleh karena itu jika madzi keluar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan. Dari Ali bin Abi Tholib beliau berkata, “Aku seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan air madzi. Aku malu menanyakannya pada Rosululloh karena status putri beliau (sebagai istriku, pent.). Maka aku perintahkan Miqdad bin Aswad untuk bertanya pada beliau, beliau bersabda, “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu” (Muttafaq ‘alaihi, diriwayatkan oleh Muslim I/247/303 dan Bukhori I/230/132 secara ringkas. Lafazh hadits ini dari riwayat Muslim). Sedangkan wadi adalah air yang berwarna putih, kental dan keluar sesudah kencing. Air ini najis. Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Ada air mani, wadi dan madzi. Adapun mani, maka wajib mandi jika keluar” Tentang madzi dan wadi, maka beliau berkata, “Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk sholat.” (Shohih Sunan Abu Dawud no. 190, diriwayatkan oleh Baihaqi I/115).
  • Kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya. Dari Abdullah, beliau berkata : Rosulullah ingin buang air besar kemudian berkata, “Berikan padaku tiga buah batu”, maka aku berikan kepada beliau dua buah batu dan kotoran keledai. Kemudian beliau mengambil dua batu tadi dan membuang kotoran keledai serta berkata, “Kotoran ini najis” (Shohih Sunan Ibnu Majah no.253, diriwayatkan oleh Ibnu khuzaimah I/39/70, adapun selain lafazh yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah tidak disebutkan “keledai”. Diriwayatkan pula oleh Bukhori I/256/156, An Nasa’i I/39, At Tirmidzi I/13/17 dan Ibnu Majah I/114/314)
  • Darah Haid. Dari Asma’ binti Abu Bakar beliau berkata, ada seorang perempuan datang kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Pakaian salah seorang diantara kami terkena darah haid, bagaimana cara mensucikannya?” Maka beliau bersabda, “Hendaklah ia gosok, peras dengan air kemudian memercikinya. Sesudah itu ia boleh sholat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (Muttafaq ‘alaihi, diriwayatkan oleh Muslim I/240/291 dan Bukhori I/410/307. Lafazh hadits ini dari riwayat Muslim).
  • Air liur anjing. Dari Abu Huroiroh beliau berkata : Rosululloh bersabda, “Cara menyucikan bejana kalian jika (isinya, pent.) dijilat anjing yaitu dengan mencucinya tujuh kali dan cucian yang pertama dicampur dengan tanah.” (Shohih Al Jami’ush Shoghir no.3933, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim I/234-91-279).
  • Bangkai. Bangkai yaitu sesuatu yang mati secara wajar tanpa disembelih secara syar’i. Dalil kenajisannya yaitu sabda Rosululloh : “Jika ‘al ilhab’ (kulit bangkai) disamak maka telah suci.” (Shohih Al Jami’ush Shoghir no.511. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim I/277/366 dan Abu Dawud 11/181/4105). ‘Al ilhab’ pada hadist tersebut maknanya kulit bangkai.

Jenis bangkai yang bukan najis :

  • Bangkai ikan dan belalang. Berdasarkan hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata : Rosululloh bersabda, “Dihalalkan untuk kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai tersebut adalah bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis darah adalah hati dan limpa.” (Shohih Al Jami’ush Shoghir no.210, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad I/255/96 dan Baihaqi I/254) 
  • Bangkai yang tidak berdarah alir seperti lalat, semut, lebah dan semacamnya. Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh bersabda, “Jika ada lalat jatuh di wadah kalian, maka celupkan kemudian buanglah. Karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan di sayap yang lain ada obat penawarnya.” (Shohih Al Jami’ush Shoghir no.837, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori 10/250/57/82 dan Ibnu Majah II/1159/3505).
  • Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai. Semua itu suci berdasarkan kaidah bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah suci. Imam Bukhori (I/342) meriwayatkan secara mu’allaq (tanpa sanad, pent.), beliau berkata : Az Zuhri berkata mengenai tulang bangkai –seperti gajah dan lainnya-, “Aku dapati para ulama salaf (para sahabat, pent.) bersisir dengan tulang tersebut dan memanfaatkan lemaknya. Mereka memandang yang demikian itu boleh-boleh saja.” Al Hammad berkata, “Memanfaatkan bulu bangkai itu boleh-boleh saja.”
Sumber : internet

0 komentar:

Posting Komentar